Sabtu, 16 Oktober 2010

Anthony Salim

Generasi Kedua Salim Group


Anthony Salim alias Liem Hong Sien, CEO Group Salim (generasi kedua) terpilih sebagai salah seorang 10 Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 versi Warta Ekonomi. Dia dinilai berhasil membangun kembali kerajaan bisnis Salim Group, setelah sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi 1998.
Sebelum krisis moneter dan ekonomi 1998, Group Salim terbilang konglomerasi terbesar di Indonesia dengan aset mencapai US$ 10 milyar (sekitar Rp 100 trilyun). Majalah Forbes bahkan pernah menobatkan Liem Sioe Liong, pendiri Grup Salim, sebagai salah satu orang terkaya di dunia.

Bank Central Asia, miliknya di-rush pada saat krisis multidimensional 1998 itu. Untuk mengatasinya, terpaksa menggunakan BLBI dan akibatnya berutang Rp 52 trilyun. Anthony yang sudah dipercayakan memegang kendali perusahaan menggantikan ayahandanya Sudono Salim (Liem Sioe Liong) ini pun bertanggung jawab.

Dia melunasi seluruh utangnya, walaupun harus terpaksa melepas beberapa perusahaan. Di antara perusahaan yang dilepas adalah PT Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA (kemudian dikuasai Farallon Capital dan Grup Djarum) dan PT Indomobil Sukses Internasional.

Namun, dia tetap mempertahankan beberapa perusahaan, di antaranya PT Indofood Sukses Makmu Tbk, dan PT Bogasari Flour Mills, yang merupakan produsen mi instan dan terigu terbesar di dunia. Selain itu juga berkibar beberapa perusahaan di luar negeri, di antaranya di Hong Kong, Thailand, Filipina, Cina dan India.

Salah satu upayanya mendongkrak penjualan mi instan produknya, dia menggandeng Nestle SA. Langkah ini dipercaya bisa mendongkrak nilai tambah Indofood, andalannya. Putra taipan Liem Sioe Liong ini tak mau kerajaan bisnisnya, PT Indofood Sukses Makmur Tbk., berhenti berekspansi dan berinovasi. “Setiap perusahaan harus berbenah diri, apalagi dalam iklim kompetisi,” kata Anthony. Untuk mendukung rencananya itu, Anthony pun menggandeng Nestle S.A. Keduanya sepakat untuk memperlebar pangsa pasar Indofood dan Nestle.

Deal bisnis antara dua kerajaan makanan dan minuman ini berujung pada pendirian PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia. Perusahaan berstatus PMA ini menyedot dana Rp50 miliar, dengan masing-masing pihak menyetor 50%.
“Pendirian usaha patungan baru ini akan menciptakan peluang untuk memanfaatkan dan mengembangkan kekuatan yang dimiliki kedua perusahaan,” kata Anthony. Ia percaya reputasi yang dimiliki kedua perusahaan setidaknya bisa mendongkrak nilai tambah bagi masyarakat dan pemegang saham.

Perusahaan tersebut akan bergerak di bidang manufaktur, penjualan, pemasaran, dan distribusi produk kuliner. Mulai April 2005 lalu, pada botol kecap merek Piring Lombok sudah ditemukan “cap” perusahaan patungan tersebut. Ke depan, Indofood masih akan memberi lisensi penggunaan merek produk kuliner kepada Nestle-Indofood.

Indofood sendiri memiliki kekuatan pada profil produksi rendah biaya, jangkauan distribusi yang luas, dan kecepatan menjangkau konsumen melalui anak perusahaannya, PT Indosentra Pelangi, yang menjadi pemain utama di bidang industri bumbu penyedap makanan. Sementara itu, Nestle bergerak di bidang produksi dan penjualan berbagai produk makanan dan minuman, termasuk mi instan dan bumbu penyedap makanan di seluruh dunia. Kekuatan perusahaan asal Swiss itu ada pada riset dan pengembangan yang kuat dalam memproduksi makanan dan nutrisi.

Anthony melihat bahwa perusahaan yang dipimpinnya adalah kapal yang besar dengan 50.000 karyawan. Harus ada komunikasi yang baik agar kinerja perusahaan dapat terfokus tajam dalam melihat pasar. Kata Anthony, sebenarnya aktivitas bisnis yang dilakukan selama ini banyak, hanya saja tidak terlihat. “Indonesia masih menjanjikan imbal hasil yang tinggi dalam bisnis,” ungkapnya. (Evi Ratnasari, Warta Ekonomi, 28 Desember 2005) ►e-ti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar